Oleh : Ahmad Husain Fahasbu
Salah satu keinginan yang dulu sempat muncul dalam diri saya adalah keinginan untuk belajar di beberapa pesantren dan berguru kepada banyak kiai dari berbagai pesantren. Motivasi itu muncul setelah membaca kisah-kisah Kiai As’ad Syamsul Arifin dan banyak kisah kiai lain, yang dulu mondok di mana-mana dan berguru kepada banyak tokoh.
Berguru kepada banyak kiai/tokoh tentu memiliki kelebihan tersendiri. Banyak ilmu, perspektif dan tingkah laku keteladanan yang bisa ditimba. Apalagi dalam setiap proses berguru tersebut ditempuh dengan serius dan penuh kesungguhan. Persis kisah Kiai As’ad yang konon tiap berguru kepada tiap kiai, bisa meneguk saripati ilmu dan pekertinya.
Ulama zaman dulu seperti al-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik bin Anas dan banyak ulama juga memiliki tradisi ini: berguru kepada banyak tokoh yang memiliki keahlian khusus di bidangnya. Misal, al-Syafi’i belajar al-Sunnah kepada Imam Malik, belajar ilmu-ilmu metodologi fikih kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani, belajar hadis kepada Sufyan bin Uyainah dan begitu seterusnya.
Baca juga:
Menanggapi Paradigma Polemik Perubahan Laut
|
Namun keinginan itu tak terwujud. Konteks kehidupan zaman ini berbeda dengan zaman dulu. Orang dulu belajar di pesantren tujuannya hanya ngaji kepada kiai dan guru tanpa terikat dengan administrasi yang rumit. Sementara zaman sekarang orang belajar di pesantren di samping bertujuan ngaji juga ikut sistem klasikal. Dan otomatis terlibat dalam administrasi.
Zaman dulu orang belajar mencari ilmu sementara orang zaman sekarang mencari ilmu sekaligus mencari ijazah. Dan itu semua membuat tradisi pindah-pindah pesantren dan berguru kepada banyak kiai menjadi sesuatu yang dibayangkan saja menyeramkan.
Baca juga:
Jangan Sampai Modern Menjadi Mudirrun
|
Sadar keinginan itu tak terwujud saya akhirnya banting setir. Mempersiapkan rencana lain, yang tidak begitu mengecewakan, yaitu ingin masuk Ma’had Aly. Lembaga ini begitu primadona banyak santri. Zaman dulu ada mitos, bahwa orang yang masuk Ma’had Aly sudah pasti orang pilihan. Sebab seleksi masuk dan seleksi keluar amat ketat.
Tahun 2014 menjadi babak baru bagi saya. Dengan berbekal lulusan Madrasah Ibtidai’yah, khatam kitab Jurumiyah dan tasrif, saya memberanikan diri mendaftar. Di samping saya, ada ratusan peserta baik dari dalam maupun dari luar yang berencana bergabung di lembaga prestisius itu.
Saya diuji kitab Fathul Qorib oleh tiga penguji yang dikenal angker. Saya ingat betul betapa gemetar masuk ke ruangan yang amat dingin karena ada Ac-nya itu. Saya membaca kitab tersebut di hadapan tiga sosok ustadz setelah sebelumnya diuji dengan ujian tulis materi nahwu, sarraf, fikih, ushul fikih dan kaidah fikih, yang bobotnya amat berat sekali. Setelah melalui proses panjang, saya dan beberapa kawan dinyatakan lulus. Betapa bahagianya diri ini, dengan berbekal bekal minimalis, saya diberi kesempatan untuk berproses di tempat ini.
Tiga tahun saya tempuh di lembaga yang disebut Ma’had Aly Marhalah Ula, yang dulunya bernama Madrasah I’dadiyah. Lembaga ini awalnya dibuat sebagai lembaga persiapan untuk masuk Ma’had Aly yang sesungguhnya. Sebab Ma’had Aly yang didirikan Kiai As’ad pada tahun 1990 adalah Ma’had Aly yang sekarang disebut Marhalah Tsaniyah.
Baca juga:
Ketika Rahmat Tuhan Datang di Malam Hari
|
Di Ma’had Aly Marhalah Ula fokus utamanya adalah ilmu alat, seperti nahwu, sarraf, mantik, balaghah dan penguasaan pada kitab Fath al-Muin dan Ghayah al-Wushul. Target utamanya adalah melahirkan lulusan yang mampu membaca dan memahami secara baik dan benar kitab Fathul Muin dan yang satu tingkat dengannya.
Jadi, pembelajaran di tahap ini amat intens dengan menerima bimbingan dari seorang ustadz yang disebut musyrif. Prosesnya melelahkan sekali. Dan benar-benar menghabiskan emosi. Bayangkan saja, tiap ujian semester ada santri yang harus angkat kaki karena nilai yang ditaget tidak terpenuhi. Betapa tiap semester kami benar-benar senam jantung. Setelah selesai proses 3 tahun, akhirnya saya kemudian resmi masuk di Lembaga Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah. Di sini kami benar-benar merasakan hal dan aura yang beda. Para pengajar/dosen mayoritas adalah para kiai dan akademisi.
Perpaduan kultur keilmuan dan latar belakang dosen benar-benar membuat suasana beda sama sekali. Satu waktu kami bisa ketemu dengan dosen seorang kiai yang amat tradisional, di waktu yang lain kami bisa bertemu dengan dosen yang sangat modern. Pembelajaran yang berlaku berbeda dengan apa yang ditempuh tiga tahun sebelumnya.
Dalam suasana seperti itu, keinginan yang dulu sempat saya parkir, saya rasakan bisa dilaksanakan di Ma’had Aly. Jika dulu memiliki keinginan berguru ke berbagai kiai di berbagai pesantren namun tidak terwujud, kini bisa terwujud sebab pengajar di Ma’had Aly adalah para kiai dan tokoh dari berbagai pesantren dan berbagai institusi.
Sekadar menyebut contoh, di Ma’had Aly saya belajar langsung kepada dewan kiai dan tokoh yang dari intern pesantren Sukorejo, yang kapasitas dan keilmuannya sudah muttafaq alaih (disepakati bersama) seperti Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy, Kiai Afifuddin Muhajir, Kiai Hariri Abd. Adhim, Kiai Hasan Basri, Prof. Abu Yasid, Dr. Muhyiddin Khatib, Dr. Wawan Djuandi, Dr. Abd. Djalal dan Dr. Imam Nakhai.
Sementara para kiai dan tokoh dari luar adalah seperti Kiai Zuhri Zaini, Kiai Zainul Muin Husni, Kiai Salahuddin Munsif, Kiai Abdillah Mukhtar, Prof. Sayyid Aqil Munawwar, Kiai Thoifur Mawardi, Kiai Ali Imron, Kiai Abdul Qoyyum dan nama-nama beken lain. Belum lagi beberapa masyayikh dari Timur Tengah, yang jika berkunjung ke Sukorejo selalu ada forum khusus di Ma’had Aly Situbondo.
Atas formasi dosen dengan berbagai latar belakang pemikiran itu, para santri dimanja dengan apa yang saya sebut dengan “benturan pemikiran”. Kadang ada dosen yang amat sangat tradisional, dan kadang juga bertemu dengan dosen yang “nakal” dan sangat maju mengajarkan hal-hal yang “tidak biasa”.
Jadi semenjak di pesantren sudah diajarkan dengan ragam dan perbedaan pemikiran dari para dosen itu sendiri. Setelah keluar pesantren akhirnya tak gampang kaget dengan beragam pemikiran yang muncul.
Atas perbedaan itu semua, saya merasa para dosen bertemu dalam titik yang sama: mereka semua adalah sosok yang tulus, alim, khasyah dan zuhud. Semuanya menganyomi, mencintai sepenuh hati.
Konon, Kiai As’ad pernah memiliki keinginan agar para pengajar di Ma’had Aly adalah orang-orang yang alim, khasyah, wara’ dan zuhud. Agar para lulusannya tidak kalah dengan lulusan Mekkah (zaman dulu).
Di Ma’had Aly saya bisa menunaikan penyesalan yang dulu pernah menimpa, yaitu bisa berguru ke berbagai tokoh dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tetapi di Ma’had Aly saya justru menemukan penyesalan baru, yaitu tidak serius selama belajar di sana.
Nanti malam Harlah Ma’had Aly yang ke 32. Semoga lembaga ini terus “berdiri tegak” di atas khittah pendirinya dan yang lebih penting, semoga santri yang dulu tak serius selama belajar seperti saya bisa tetap mendapat kucuran berkah dari para masyayikh.[]
Ahmad Husain Fahasbu